Be A Housewife? Why Not??

By Iamsyadh - 15:34:00



taken by iamsyadh







Sebenernya udah lama banget pengen bikin postingan inih, tapi mengumpulkan niatnya yang lama, ide dikepala apa yang mau ditulis udah dari lebaran, tapi ampe sekarang baru di salurkan. Dan kapan ini bakal di post, yang jelas merangkai katanya sampau lebih seminggu J. Dan inilah yang di alami untuk para penulis, what salah belom, okeh kita ganti dengan para blogger newbe *tunjuk diri sendiri* . Kalimat apa yang cocok untuk pembuka untuk sebuah tulisan ?!@#$%^&*
Berawal dari melihat kehidupan orang lain, merenungkannya sendiri dan bercermin, jika hal itu yang terjadi kepada kita. Apa saja renungan itu???? Merenung, kini aku adalah seorang istri, memutuskan untuk berhenti bekerja, namun berkeinginan untuk memulai membuka usaha, masih sedikit kebranian untuk memulainya walau kata orang “ kebanyakan mikir nggak kerja” yah itu benar.
Keseharian hanya dirumah,TV, sosmed, membaca buku yang kadang jika mood dalam kondisi bagus bisa terus tanpa henti, namun jika banyak kesibukan beres-beres rumah cuma bisa baca waktu malam hari. Bosan juga hanya itu saja rutinitasnya, untuk sekedar menghilangkan strees kadang pergi ke mall untuk sekedar numpang baca buku di resto atau café.  Mencari cara bagaimana agar aku tetap produktif, hanya full of time housewife tapi produktif. Akhirnya aku mulai meneruskan blogku yang sempat terbengkalai. Dengan apa yang pernah aku baca, aku share ke public, bukan bermaksud agar orang lain tahu bagaimana aku, hanya ingin bertukar pikiran atau membagi ilmu. Ilmu yang baik adalah ilmu yang bermanfaat, bagaimana bisa bermanfaat bagi diri kita juga, jika ilmu yang baru atau telah kita dapat tidak kita bagikan. Menjadi penulis di blogger adalah salah satu usaha yang aku lakukan.
Ilmu dan renungan diri kali ini adalah Peran seorang istri dalam Rumah Tangga.
Hemmm, apa aku sedang mengajari orang lain??? In sha allah tidak, pernikahan ku masih sangatlah muda, belom pantas jika aku menggurui. Hanya ingin berbagi pemikiran, mungkin kita ada yang sama pemikiran, atau sedang dalam memikirkan hal yang sama bahkan berbeda pendapat sekalipun.
Menjadi ibu rumah tangga seutuhnya adalah impian beberapa orang, meski banayak juga yang berfikir menjadi wanita karir. Hanya berangan-angan, menjadi wanita karir dan ibu seutuhnya pastilah sulit, sangat sulit. Dari beberapa curhatan orang sekitar, kerja jadi ngk focus kalo udah punya anak. Tapi ada juga yang biasa-biasa aja karna anak dirumah ada babysitter, pekerjaan rumah ada asisten rumah tangga lagi. Hemmm yang seperti ini yang bersyukur karna dapat penghasilan lebih diatas rata-rata.  Kalo saya, kayaknya belom mampu, nabung bikin rumah masa depan dulu. Hehehe.
Sebelum nikah dan setelah menikah, nenek udah ngasih wejangan
“ nduk, engko nek wis omah-omah wis tho orah usah kerjo, ben bojone ae, nek omah ae ngrumat anak bojo, sing nrimo ae sak piro kayane, wong nek rukun rejekine ki akeh, ojo ndangak ae, sing semeleh ”
( nak, nanti kalo sudah berumah tangga udah ngk usah kerja aja, biar suaminya aja, dirumah saja mengurus anak dan suami, menerima seperapun gaji suami, rumah tangga kalo rukun itu banyak rejekinya, jangan selalu melihat keatas, meresa cukup /Qona’ah).

Dan akhirnya bener, aku memutuskan untuk tidak bekerja. Padahal sebelum menikah kita udah berencana kalo aku boleh tetap kerja tanpa melupakan tugas utama sebagai seorang istri. Namun, ada sedikit keprihatinan dan kekhawatiran, yaitu aku akan melewatkan masa pertumbuhan anakku, sedikit waktu untuk bisa bertemu dan bersantai dengan suami. Sabtu dan minggu, waktu yang jarang kosong bagi, suami mengingat suami adalah freelance. Lalu kapan aku akan bertemu?? Selepas aku pulang kantor. Standart waktu sampai rumah jam 6-7 malam. Dengan jam pulang seperti itu, kapan aku untuk memasak, menyuapi makan anak, dan untukku sendiri beristirahat?. Lalu saat weekdays saat suami tidak ada job apakah suamiku akan dirumah dengan anakku dan babysitternya? atau anakku kutitipkan saja kepada orang tuaku??. Dan pertanyaan pertanyaan itu semuanya bermunculan.
Jika semuanya sibuk bekerja mengumpulkan uang, lalu siapa yang akan sibuk berdoa dirumah. Siapa yang akan sibuk mengingatkan solat tepat waktu, jika satu sama lain memliki tanggung jawab dikantor.
Keputusan yang disayangkan juga, aku masih muda,masih produktif dan bisa terus mewujudkan cita - cita. Saat masih dibangku kuliah impian serasa menggebu-gebu. Namun setelah menikah semua pertanyaan muncul. Aku hidup untuk apa? Apa aku takut akan rezeki ku hilang jika aku tidak bekerja? Lalu bagaimana impianku?.
Hal itu terus saja muncul, ada sedikit rasa minder ketika bertemu teman, bahwa aku sudah tidak bekerja, aku hanya dirumah sebagai seorang istri, saja. Untuk membunuh rasa bosan, aku banyak membaca buku islami, memperbaiki ibadahku. Dan pertanyaan-pertanyaanku mulai terjawabkan.
Kewajiban seorang istri adalah berbakti kepada suaminya, surga istri ada pada suaminya. Bekerja bukan kewajiban istri. Alangkah baiknya suami saja yang bekerja dan istri mendoakan suami di rumah, menunggu ketika suami pulang, melayani suaminya. Akan terasa berbeda memang apalagi dalam segi keuangan, karna hanya 1 kepala saja yang menjadi tulang punggung. Namun ingatlah! “ janji Allah pasti, tak perlu takut akan rizekimu, jika kau percaya dengan ibadahmu dan janjimu berbakti kepada suami in sha allah, rezeki lancar, amin “. Akupun harus sangat “puasa” mata, hobi belanja barang yang ngk jelas, hobi nongkrong di mall, café, resto yang ngk jelas harus segera dikurangi, karna aku sadar secara langsung stop hanya akan menyulitkan prosesku sendiri.
Sedikit rasa iri, pasti, dimana aku melihat temanku membeli tas mahal, aku tidak bisa. Dan kalau difikir ulang, untuk siapa aku membeli tas mahal? Aku bukan sosialita yang banyak jadwal pertemuan, pergi kepesta pernikahan orang juga ngk tiap hari, apa dipakai kalo pergi ke mall aja??. Aku hanya ibu rumah tangga yang pergi keluar kalo ke mall doang, bukan wanita karier yang sibuk meeting dengan beberapa klien.
Melihat orang lain bisa liburan ke luar kota atau luar negri juga ada rasa iri. Namun aku yakin janji Allah itu pasti, bersyukur apa yang kita miliki. Karna kita juga tidak tau orang yang membuat kita iri itu juga telah bersusah payah agar bisa liburan. Dan bukan bermaksud untuk berburuk sangka, pasti kalian juga pernah melihat sendiri, orang rela mengorbankan atau menyusahkan orang lain demi kesengannya sendiri. Rela berhutang!.  Subhanallah Nauzubillahiminzalik. Jangan sampai hanya karna menuruti nafsu duniawi kita jadi lupa berkahnya. Serem yah, kalo ngk berkah akan terbalas sendiri!.

“Jadikan sifat iri sebagai pemacu semangat kita, bukan membunuh diri kita sendiri”

sebagai orang yang masih terus memperbaiki ilmu dan ibadah, iri masih banyak meliputi jiwa manusiawiku. Tapi in sha allah dengan aku terus yakin bahwa ibadahku bertambah baik, iri bukan hal yang patut aku takutnya. Alangkah celakanya jika aku diliputi rasa iri terus. Sebagai istri yang hanya dirumah, melihat tentangga bisa membeli barang baru kita juga ikut membeli. Tentangga bisa beli mobil kita bingung sendiri, terus merongrong kepada suami untuk ikut membeli mobil. Tentangga liburan ke luar negeri, kita bingung sendiri hingga rela berhutang demi menyamai tentangga. Begitu seterusnya tanpa ada habisnya jika rasa iri tidak kita lawan. Ada firman Allah seperti ini yang artinya :

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu :  jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu kesenangan dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar ” (Qs. Al-Ahzab [33]:28-29)

Subhanallah, sangat disayangkan sekali bukan, jika iri yang menjerumuskan kita dalam memenuhi nafsu duniawi. Seharusnya kita harus iri terhadap orang yang beribadahnya rajin, solatnya tidak pernah tertinggal, lidahnya tidak henti berzikir, rumahnya selalu sejuk dengan suara lantunan al-Quran. Mashaallah, alangkah irinya aku jika hal seperti itu ada pada tentanggaku.

Aku harus bangga terhadap diriku sendiri, aku mampu melepas gelar Sarjanaku demi berbakti kepada suami. Ingat! Jangan terlalu berbangga diri yah, karna allah membeci orang yang telalu membanggakan diri sendiri. Banyak ibu diluar sana juga yang berhenti bekerja, kok. Jadi aku patut bersyukur.
Jaman sekarang yang gadget bukan barang mahal lagi, anak kecil 2 tahun aja udah bisa mengoprasikan gadget. Bahkan yang masih bayi 6bulan saja udah diperkenalkan dengan gadget. Jika tidak pas penggunaannnya dan salah cara mengenalkannya, malah akan menjadi boomerang bagi diri kita sendiri. Setuju tidak?
Cara mendidik anak ini juga factor utama bahwa, aku harus berhenti bekerja. Hal ini terjadi sendiri dalam lingkunganku. Anaknya masih balita jika anaknya menangis, atau saat ibunya sibuk, sang anak diberikan gadget dengan permainan didalamnya. Hal ini terus dilakukan jika sang anak melakukan hal yang sama lagi. Dan suatu ketika saat sang anak susah sekali diajak makan dan tidur siang, sang ibu marah-marah karna sang anak sibuk dengan gadgetnya. Lalu kalo begini, harusnya siapa yang lebih bijak, apa anak terus disalahkan??
Hal yang lain lagi yang bahkan sering kita lihat sendiri di mall-mall. Kebanyakan terjadi di tempat makan. Sang ibu sibuk dengan gadget dan rokoknya, sang anak sibuk mainan dan makan dengan babysitternya. Ketika sang anak merengek tidak suka dengan makannya, sang ibu hanya marah-marah, atau langsung saja menyodorkan gadget. Atau sang ibu sibuk dengan teman-temannya dimall dan anak sibuk dengan babysitternya. Jangan pernah salahkan anak jika anak lebih dekat dengan babysitternya.
Hal yang lain lagi jika anak tidak langsung diasuh oleh ibunya sejak kecil ketika dia mulai anak-anak dan sekolah di dasar, sudah mengenal banyak hal. Anak akan mulai nakal, susah dinasehati, dan kita lebih memilih ringan tangan dan ringan mulut. Ini sangat disayangkan bukan?. Yang aku takutkan adalah, jika kelak kita sudah tua dan anak kita sibuk dengan kehidupan rumah tangganya juga kita akan diasuh pula dengan oranglain,  yang lebih mengenaskan jika kita dititipkan ke panti jompo, Nauzubillahiminzalik jangan sampai. Karna aku tidak mau hal itu terjadi maka jalan seperti inilah yang aku ambil

“karna akan selalu ada yang dikorbankan untuk sebuah harapan”

Dan dengan bismillah yakin dengan Allah atas bakti kita terhadap suami dan keluarga, Allah akan membalasnya dengan kebaikan pula, amin.
Karna aku ingin, ketika anakku mulai tumbuh dewasa dan dia sudah mulai banyak pertanyaan-pertanyaan hidup dalam dirinya, akulah yang pertama memberi jawaban. Ketika dia bertanya tentang agamanya, akulah yang menjelaskan. ketika dia bertanya tentang temannya, akulah tempat curahannya. Ketika dia bertanya dengan semua yang menyakut kehidupan sehari hari, aku lah yang mencotohkannya. Dimana aku ingin akulah sumber ilmu pertamanya, akulah jalannya menuntut ilmu. Itupun tanpa melupakan pendiidkan sekolah formalnya. Jika orang tuanya sudah mampu memberikan apa yang dia inginkan ( bukan dalam arti kehidupan materi )maka in sha allah dia akan tetap teguh dijalan allah meski ketika besar kelak dia tidak bersama kita lagi. Tak perlu ada kekhawatiran karna ilmu dan imannya sudah dipupuk dari kecil.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar