Ingatlah sebuah kisah tentang
seorang lelaki yang telah membunuh 99 jiwa.
Ketika lelaki itu merasa
sangat berdosa dan menanggung beban berat akibat perbutannya, ia menemui
seorang rahib ahli ibadah. Di hadapan sang rahib ia mengadukan penyesalan dan
keinginannya untuk bertobat.
“Wahai rahib
yang suci, adakah dosa-dosaku akan diampuni?” tanyanya dengan perasaan
berkecamuk.
Setalah mendengar bahwa yang dilakukan
lelaki itu adalah dosa yang sangat besar, apalagi ia tahu, dosa membunuh satu
nyawa bagai membunuh manusia di sunia seluruhnya.
Ia menjawab, “
Sungguh dosa yang tak terperikan dan tak terampuni,” ujarnya. Lalu, ia
berpaling.
Lelaki itu betambah marah. Sikap
dan kata-kata rahib itu ibarat garam yang menyirami lukanya. Ia geram dan
perasaanya berkecamuk. Ia pun membunuh rahib itu dengan pedangnya. Genap sudah
100 nyawa.
Ia ingin bertobat dan memohon
ampun. Namun, barangkali sudah tak ada lagi pintu ampunan baginya. Ia sempat
putus asa. Namun, akhirnya berhasil menemukan seorang alim. Lelaki berilmu itu
memberikan jawaban yang menentramkan hatinya,
“ Ya, siapa
yang bisa menghalangimu menuju tobat. Pergilah ke negeri sana. Di sana, mereka
beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama-sama mereka. Dan,
jangan pulang ke negerimu karena negerimu itu negeri yang tidak baik.”
Di dadanya berpendar cahaya
harapan, memekarkan kuncup yang sempat layu. Di dadanya bergelinjang keiinginan
untuk bertobat yang semakin memuncak.
Lalu, ia hijrah meninggalkan
kejahatannya menuju negeri pertobatan. Ternyata, ia meninggal dipertengahan jalan sebelum tiba di ujungnya. Dan
berdebatlah Malaikat Azab dan Malaikat Rahmat.
Malaikat
Rahmat berkata, “ Ia datang dalam keadaan bertobat dan menghadapkan hatinya kepada
Allah.”
Sementara Malaikat
Azab mengatakan, “ Ia belum melakukan perbuatan baik sama sekali.”
Kemudian,
datanglah seseorang malaikat dalam wujud manusia. Malaikat-malaikat yang sedang
berbantah itu menjadikannya sebagai penengah di antara mereka.
Malaikat menjelma
manusia itu berkata, “ Ukurlah jarak antara dua negeri. Ke negeri mana ia lebih
dekat, ke sanalah ia digolongkan.”
Kemudian, para malaikat itu mengukurnya.
Ternyata lelaki itu lebih dekat ke negeri yang dituju, yaitu negeri tempat
orang-orang beriman. Dan, ia telah benar-benar meninggalkan kejahatannya,
menuju negeri pertobatan, meskipun baru selangkah. Maka, Malaikat Rahmat-lah
yang berhak mengambilnya.
Kisah ini
dituturkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Dan dalam Hadist Qudsi, Alllah
berfirman:
“ Wahai anak Adam, sesungguhnya tiada engkau memohon kepada-Ku dan
menharapkan kepada-Ku melainkan pasti Aku akan mengampunimu, dan Aku tiada
peduli ( seberapa pun permintaanmu). Wahai anak Adam, skeiranya dosa-dosamu
mencapai ujung langit kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku
akan mengampunimu, dan Aku tidak peduli (seberapa pun dosamu). Wahai anak Adam,
sekiranya engkau datang kepada-KU membawa dosa-dosa hampir sepenuh bumi,
kemudian engkau datang kepada-Ku (dengan) tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu
apa pun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan hampir sepenuh bumi. ”
(HR At-Tirmidzi).
sumber: buku On The Way To Jannah karangan Muhammad Amin penerbit Buyan
0 komentar